KATIGO – Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang telah disahkan pada rapat paripurna, Selasa 6 Desember 2022 lalu. Dikutip dari website dpr.go.id bahwa RUU tersebut juga sesuai dengan keadaan dan perkembangan kehidupan bermasyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
Pertanyaannya, benarkah kita akan dipenjara jika memberikan kritik kepada Presiden RI dan Wakil Presiden RI, jawaban tersebut tentu la TIDAK.
Dikarenakan, mengkritik Presiden atau kebijakan pemerintah tidak bisa di pidanakan, KUHP baru mengatur pasal ini sebagai delik aduan (pasal 220). Artinya hanya Presiden dan Wakil Presiden yang dapat melaporkan aduan tersebut. Sehingga masyarakat termasuk simpatisan dan relawan tidak dapat melaporkannya.
Terkait isu bahwa di RUU KUHP, bahwa sekarang koruptor mendapatkan hukuman ringan, jawaban tersebut juga TIDAK.
Di KUHP baru (pasal 603 dan 604) hukuman minimal pidana pejabat publik malah dinaikan 1 tahun menjadi 2 tahun dan hukuman minimal bagi pihak swasta diturunkan menjadi 4 tahun menjadi 2 tahun.
Penyamaan ancaman pidana ini justru menunjukan perbuatan menyuap dan disuap adalah sama di mata hukum. Jadi jangan coba-coba korupsi!
Pertanyaan selanjutnya, apakah hukuman bagi para koruptor masih bisa ditambah lagi? masa cuma 2 tahun penjara?.
Jawabannya tentu bisa, pasal KUHP yang baru ini tidak menutup kemungkinan terjadi penambahan hukuman kepada koruptor. Merujuk pada masing-masing kasus, hakim dapat menambahkan hukuman lebih berat kepada koruptor seperti pencabutan hak politik ataupun pemberian hukuman penjara seumur hidup.
Sementara, pasal 256 KUHP sekarang unjuk rasa bisa di penjara? masa sih?. Tenang, kalau kalian unjuk rasa gak akan dipenjara kok, asal kalian melakukan hal ini:
- Memberi tahu kepada aparat penegak hukum
- Tidak menyebabkan kerusuhan
Pasal 256 KUHP sudah sesuai dengan Pasal 10 UU 9/1998 yang menyebutkan bahwa penyampaian pendapat harus dilakukan pemberitahuan (bukan izin) ke Polri, tujuan pemberitahuan itu biar aparat berwenang bisa mengatur arus lalu lintas atau menjaga ketertiban umum disekitar lokasi demontrasi kalian.
Pasal ini mendorong demokrasi yang bertanggung jawab. Menyampaikan pendapat adalah hak kalian sebagai warga negara, tapi jangan sampai kegiatan kalian mengganggu hal orang lain juga ya, sahabat pengayom.
Pertanyaan berikutnya, masih tentang perubahan RUU KUHP, apa emang benar ruang privat masyarakat kini tidak lagi privat, sekarang kok pemerintah ngurusin pribadi orang sih?.
Seperti yang diatur dalam Pasal Perzinaan (411) dan Kohabitas (412), sebagai negara yang beragama dan berbudaya kita berkewajiban menjaga nilai-nilai yang kita anut. Tetapi negara juga menghargai ruang privat warganya. Kohabitasi adalah hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.
Pertanyaan bakal sering ada penggrebekan, jawabannya tidak juga, karena pasal perzinaan dan pasal kohabitasi adalah delik aduan, artinya hanya proses jika ada pihak yang mengadu.
Orang yang berhak melakukan pengaduan adalah orang tua, anak, suami atau istri. Pasa ini juga mengatur agar masyarakat tidak main hakim sendiri.
Jadi KUHP baru tetap memberikan ruang privat masyarakat, tetapi kalau ada pengaduan dari pihak (sesuai ketentuan) yang dirugikan secara langsung, baru akan di proses langsung.
Sementara isu kalau KUHP baru menganggu Pariwisata Indonesia?, Itu tidak benar atau HOAX (berita bohong), tidak ada data valid terkait hal tersebut. (*).
Discussion about this post